Kisah Suram dari Ogan Ilir

Oleh Anugerah Perkasa
3.083 words

171268066425p

RUSDI TAHAR harus cepat-cepat menyelesaikan kunjungan kerjanya di kawasan Jalan Raya Lintas Timur, Kecamatan Teluk Gelam, Kabupaten Ogan Komering Ilir, pada siang pertengahan Juli lalu. Dia mendapatkan telepon berturut-turut dari kepolisian karena suasana Desa Ketiau, Kecamatan Lubuk Keliat, Kabupaten Ogan Ilir, Sumatra Selatan, tengah memanas. Rusdi adalah anggota DPRD Sumatra Selatan dari Partai Amanat Nasional (PAN) periode 2009—2014, dan berasal dari Desa Seri Bandung, Kecamatan Tanjung Batu. Ini adalah satu desa yang juga berada di Kabupaten Ogan Ilir. Kabupaten yang berdiri sejak 2004 tersebut—pecahan dari Ogan Komering Ilir— merupakan daerah pemilihannya dulu. Suasana menyengat itu dipicu oleh konflik dua desa tersebut, bersama-sama dengan sedikitnya 20 desa lainnya, melawan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VII unit usaha Cinta Manis karena persiteruan lahan. Konflik mulai memuncak setidaknya sejak 3 tahun terakhir.

Para petani yang menuntut pengembalian lahan tersebut tergabung dalam Gabungan Petani Penesak Bersatu (GPPB). Dan siang itu, mereka tengah berhadap-hadapan dengan aparat keamanan: Brigade Mobil (Brimob) dan Kepolisian Resor Ogan Ilir. Sesampai di lokasi, Rusdi awalnya ingin mencegah aparat yang ingin memukuli dua warga. Tetapi, dia malah ditangkap.

“Aku diminta Wakapolda datang ke sini,” teriak Rusdi kepada beberapa polisi yang menggiringnya. “Hoi, itu mamang aku, jangan [disakiti]. Tolonglah.”

Mamang kau tahi pilat!” jawab seseorang dalam video Youtube tersebut.

“Kau melok bae [ikut saja]. Ndak usah banyak omong,” kata perekam video itu. “Kalau kau nak nurut, kau ndak diapa-apai. Jadi jangan macam-macam.”

Rusdi dibawa hingga memasuki mobil polisi. Kekisruhan itu sebelumnya bermula dari pembakaran traktor milik PTPN VII oleh enam orang tak dikenal di Desa Betung, Kecamatan Lubuk Keliat, pada pagi hari. Siangnya, aparat keamanan juga mulai masuk ke Desa Ketiau, tempat pabrik Rayon III perusahaan milik negara itu beroperasi. Lahan-lahan tebu pun mulai dibakar, tanpa diketahui siapa yang melakukannya.

PTPN VII adalah perusahaan milik negara yang dibentuk pada 1996, serta memfokuskan bisnisnya di sektor perkebunan kelapa sawit, karet, tebu dan teh. Berdasarkan situs resminya, cakupan wilayah korporasi itu terdiri dari Provinsi Lampung, Provinsi Sumatra Selatan dan Provinsi Bengkulu. Masing-masing memiliki sepuluh unit usaha, 14 unit usaha serta tiga usaha. PTPN VII juga adalah hasil penggabungan empat PTPN, dan salah satunya merupakan milik Belanda yang dinasionalisasi pada 1957.

Para petani akhirnya memadati lokasi. Suasana bertambah panas, karena polisi berusaha menangkap warga. Bentrok tak terhindarkan. Ada semprotan gas air mata. Ada pula asap dari pembakaran lahan tebu yang bikin perih mata. Polisi awalnya menangkap Eep, warga Desa  Seri Bandung, serta Suwarman dari Desa Betung dalam kejadian tersebut. Setelahnya, kepolisian juga menangkap Fasili, Muslimin dan Rusdi Tahar. Ketiganya berasal dari desa yang sama, Desa Seri Bandung.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatra Selatan—organisasi lingkungan yang mendampingi warga desa di Ogan Ilir— mencatat sejumlah dugaan tindakan kekerasan yang dilakukan aparat Brimob Polda Sumatra Selatan pada hari itu. Rusdi sendiri mengalami luka lebam di wajah dan luka pada tangannya. Lainnya, dipukul benda keras di kepala, luka pada bibir dan hidung, diancam ditembak hingga ditelanjangi. Mereka dilepaskan setelah Maghrib tiba.

Tetapi, kepolisian juga mengklaim sedikitnya empat anggota Brimob dan satu Polres Ogan Ilir terluka akibat serangan warga. Dalam laporan resmi penanganan aksi anarki, para korban itu adalah Briptu Doni Carlos, Briptu Erpan Yuda, Briptu Hengki Sihombing, Bripda Nurhadi serta Brigpol Efriansyah. Mereka terluka akibat dugaan pukulan benda tumpul dan tajam di punggung, luka di lengan hingga luka pada kening.

“Sejak saat itu, polisi melakukan penangkapan paksa terhadap warga desa,” kata Direktur Eksekutif Walhi Sumatra Selatan, Anwar Sadat. “Setiap saat warga diteror oleh pasukan Brimob Polda Sumatra Selatan.”

Perlakuan kepolisian tak cukup hingga di sana. Satuan Brimob juga menangkap Dwi Andani, yang tengah menggendong bayinya Muhammad Farel berusia 15 bulan, ketika melintasi wilayah Rayon VI PTPN VII, dua hari setelah kejadian di Desa Ketiau. Dewi bersama tiga warga lainnya asal Desa Betung, baru saja selesai berkebun kala itu. Mereka sehari-hari memang melewati lintasan tersebut. “Guna kepentingan pemeriksaan lebih lanjut, keempat warga tersebut dibawa ke Polres Ogan Ilir,” kata Kepala Polres Ogan Ilir AKBP Deni Dharmapala.

Intimidasi terus-terusan terjadi. Para petani berangkat ke Palembang, melakukan demonstrasi besar-besaran ke Markas Polda Sumatra Selatan karena memprotes penahanan 12 petani lainnya. Sembilan tahanan kemudian ditetapkan tersangka karena dugaan membawa senjata tajam. Tiga lainnya dilepaskan. Ada pagar besi yang dirobohkan.

Tetapi, penangkapan demi penangkapan hingga 24 Juli terhadap penduduk itu, bukanlah puncak peristiwa di Ogan Ilir.

Tiga hari kemudian, atau 27 Juli, enam mobil aparat gabungan bergerak beriringan memasuki Desa Limbang Jaya, Kecamatan Tanjung Batu. Waktu menujukkan sekitar pukul 15.11 WIB. Saat itu juga adalah minggu pertama kalangan muslim berpuasa Ramadan. Salah seorang warga memukul beduk Masjid Darussalam, sebagai tanda sesuatu tengah terjadi di desa mereka. Suasana memang kian mencekam akhir-akhir ini. Masyarakat mulai berkerumun di Jalan Darat, tepatnya pada persimpangan ilir, lintasan yang dilalui aparat gabungan tersebut. Mobil terakhir aparat terhalang kerumunan massa. Sedangkan lima lainnya, melanjutkan perjalanan ke Jalan Laut.

“Apa tujuannya datang?” kata warga, seperti yang tertuang dalam laporan pemantauan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).

“Hanya patroli,” kata polisi. “Tidak ada apa-apa.”

Warga semakin banyak berdatangan. Hal itu yang membuat salah seorang polisi justru menembakkan tembakan peringatan sebanyak dua kali. Celakanya, ini malah bikin orang penasaran untuk melihat apa yang terjadi. Tiba-tiba, rentetan tembakan pun dilepaskan. Masyarakat berhamburan menyelamatkan diri. Ada yang memungut batu di jalan. Mereka melemparkannya ke arah aparat keamanan.

Farida, salah seorang warga, awalnya penasaran apa yang tengah terjadi. Dia mendengar suara tembakan hingga melihat banyak orang berlarian. Posisinya saat itu berada di dekat Masjid Darussalam, atau sekitar 89 meter dari lokasi keramaian. Farida baru sadar tangan kanannya tembus terkena peluru. Dia akhirnya lari ke rumah. Saat itulah, bocah Angga Prima—berusia 13 tahun—sudah tergeletak bersimbah darah di depan masjid. Peluru tajam menembus belakang kepalanya.

Beberapa warga berteriak-teriak. Kerumunan aparat masih berdiri di beberapa rumah rumah tanpa memberikan pertolongan.

Dalam rekaman video amatir, Angga—memakai baju warna biru muda dan celana pendek hitam—terlentang serta tak bernyawa lagi. Telinga kanannya hampir copot, mengelupas dengan kulit pipinya. Bagian belakang kepala berlubang, bersimbah darah. Saidi, salah satu warga, mencoba mengangkat mayat Angga, namun dihalang-halangi aparat Brimob.

Pe lah ku omong, ngapo kamu nembak itu? Ngomong polisi [Sudah aku bilang, kenapa kau menembak itu? Katanya polisi]” kata seorang warga dalam rekaman tersebut kepada Saidi, yang tengah menggendong jenazah Angga.

Bocah lainnya, Iza Mahendra, juga terkena tembakan peluru karet di pinggangnya. Bersama Angga, dia awalnya ingin mengetahui mengapa suasana kian ramai. Iza  justru melihat warga berlarian dan akhirnya mengikuti.  Namun dia tertembak peluru karet. Sementara Angga, kawan sepermainannya, telah terkapar. Sebelum Saidi datang, setidaknya dua orang ingin menolong Angga namun diberhentikan dengan todongan senjata. Saidi pun tak terlepas dari ancaman tersebut.

“Letakkan, kalau tidak kutembak kau,” kata seorang anggota Brimob.

“Silakan tembak,” kata Saidi.

Di saat yang hampir bersamaan, Rusman—yang ingin mengetahui kondisi hiruk-pikuk di luar rumah—akhirnya menuju persimpangan ilir. Namun dia ditembak peluru tajam sehingga lengan kirinya terluka. Tulangnya hancur. Setelah dibawa ke rumah sakit, dokter berpendapat pembuluh darahnya sudah tak bisa lagi memasok makanan. Serpihan proyektil juga ditemukan.

Korban lainnya, Sudirman disambut tembakan hingga menembus tangan kirinya. Semua korban dibawa ke Rumah Sakit Bhayangkara, Palembang. Walhi Sumatra Selatan juga memaparkan terdapat dua perempuan lain yang turut terkena tembakan aparat keamanan pada sore itu. Mereka adalah Jessica, 16 tahun, serta Dud binti Juning, 30 tahun. Awal Agustus, dokter dari Rumah Sakit Charitas, Palembang, akhirnya memutuskan untuk melakukan amputasi terhadap lengan kiri Rusman.

“Kekerasan dan pembunuhan itu memperkuat bukti bahwa pendekatan keamanan menjadi pendekatan utama dalam konflik agraria,” kecam Abetnego Tarigan, Direktur Eksekutif Walhi Nasional. “Bom waktu sedang diledakkan satu persatu oleh pemerintah sendiri.”

“Ada arogansi aparat kepolisian,” kata Mualimin Dahlan, Koordinator Tim Advokasi Hukum dan Pencari Fakta Cinta Manis. “Kepolisian tak menghormati hak hukum warga yang ditangkap, disiksa dan dirampas harta bendanya.”

Saya melihat foto Angga—sebelum penembakan terjadi—yang tengah memperlihatkan salam tiga jarinya pada sebuah akun facebook. Senyumnya mengambang, menampakkan barisan gigi atasnya. Kini ayah dan ibunya, Darmawan dan Juhana, tak bisa lagi melihat deretan gigi itu. Juga tak ada lagi salam tiga jari dari bocah kurus tersebut. Dalam laporan media, Angga dimakamkan di pemakaman keluarga, Komplek Masjid Istiqomah, Desa Tanjung Pinang, Kecamatan Tanjung Batu, keesokan harinya setelah penembakan.

Sementara di Palembang, Dedek Chaniago, aktivis Walhi Sumatra Selatan lainnya, turut membesuk Rusman setelah tim dokter selesai mengoperasi lengan kirinya di Rumah Sakit Charitas. Tangannya masih dibalut perban. Rusman yang berbadan kurus, bertelanjang dada saat ditemui dan duduk di pinggiran kasur. Suasana itu ada dalam foto di akun Facebook milik Dedek.

“Jangankan tangan, nyawa sekali pun saya siap dan rela,” kata Dedek menirukan perkataan Rusman. “Perjuangan tidak boleh berhenti, tanah harus kembali.”

petani_perempuan

PHOTO:WWW.LANGITPEREMPUAN.COM

SAYA MELIPUT ratusan petani dari Ogan Ilir melakukan demonstrasi di Jakarta, awal Juli lalu. Mereka mendatangi kantor Kementerian Keuangan, Lapangan Banteng, Jakarta Pusat pada siang itu. Ini adalah salah satu rangkaian aksi protes mereka ke Jakarta, demi mendapatkan tanah kembali. Para petani meminta agar kementerian itu memeriksa aset PTPN VII Cinta Manis. Ini karena pendapatan perusahaan diduga diperoleh dari lahan yang tak bersertifikat. Para perempuan pun berada di barisan depan. Ada yang memegang bendera asal desa. Ada yang menggenggam tali pembatas untuk para demonstran. Spanduk-spanduk dipasang: Petani Bersatu Tak Bisa Dikalahkah. 30 Tahun Hak Kami Dirampas PTPN Cinta Manis.

Gerakan Petani Penesak Bersatu (GPPB), organisasi petani yang menuntut pengembalian tanah di Ogan Ilir, menyatakan pengambilalihan lahan di pelbagai desa terjadi sejak 30 tahun silam. Kala itu, pada 1982, masyarakat diancam untuk menyerahkan tanah mereka untuk perusahaan. Indonesia sejak 1967 dipimpin oleh Presiden sekaligus diktator, Soeharto, hingga 31 tahun lamanya. Pendekatan militer adalah salah satu cara yang dipakai pemerintah.

“Ada ancaman dianggap menghambat pembangunan, kalau tak menyerahkan tanah,” ujar Abdul Muis, 60 tahun, dari Desa Seri Bandung. “Masyarakat menjadi ketakutan, sehingga dituruti.”

“Masyarakat juga tak mendapatkan kejelasan dari pengukuran tanah oleh tim kala itu,” kata Man Diah, 64 tahun. “Kalau lahan 5 hektar, seharusnya bilang 5 hektar. Tetapi waktu itu tidak.”

“Perusahaan mengambil tanah dengan menggusur,” kata Yauna, 52 tahun, asal Desa Limbang Jaya. “Tidak ada ganti rugi. Kami sekarang menuntut hak.”

Kini PTPN VII Cinta Manis menggarap sekitar 20. 089 hektar yang terdiri dari tiga lokasi. Masing-masing adalah 7.289 hektar, 9.500 hektar dan 3.500 hektar. Lokasi-lokasi lahan itulah yang kini berkonflik dengan sedikitnya 22 desa di Ogan Ilir. Nama desa-desa tersebut adalah Betung, Ketiau, Limbang Jaya, Lubuk Bandung, Lubuk Keliat, Meranjat 1, Meranjat 2, Meranjat Ilir, Payalingkung, Rengas, Sentul, Sejaro Sakti, Seri Bandung, Seri Kembang, Siring Alam, Tanjung Agung, Tanjung Atap, Tanjung Baru Petai, Tanjung Gelam, Tanjung Laut, Tanjung Pinang,  dan Tanjung Sejaro. Berdasarkan situs resminya, Kabupaten Ogan Ilir memiliki 16 kecamatan yang rata-rata terdiri 11—20 lebih desa.

Abdul Muis mengatakan pihaknya sudah beberapa kali melakukan mediasi dan dialog dengan PTPN VII Cinta Manis. Tetapi, perusahaan selalu mengulur waktu, tanpa ada keputusan tegas. Mereka pun melakukan blokade jalan menuju pabrik pada akhir Mei lalu akibat kekecewaan yang memuncak. Namun dua hari kemudian—setelah ada kesepakatan antara warga dan perusahaan yang disaksikan oleh pihak kepolisian dan DPRD Ogan Ilir—jalan kembali dibuka. Sikap PTPN VII Cinta Manis tetap bergeming.

“Masalahnya hanya sekitar 6.512 hektar yang hanya memiliki Hak Guna Usaha [HGU],” kata Anwar Sadat, Direktur Eksekutif Walhi Sumatra Selatan. “Sekitar 13.000 lebih lahan yang digarap PTPN VII Cinta Manis tak memiliki alas hak.”

Sadat tak mengada-ada. Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sumatra Selatan membenarkan keterangan itu. Pada Desember 2009, lembaga tersebut bahkan menyatakan pihaknya tak akan memproses izin HGU milik PTPN VII Cinta Manis, sebelum menyelesaikan masalahnya dengan warga desa di Ogan Ilir. Keterangan itu disampaikan kembali pada tahun ini.

“Kanwil BPN Provinsi Sumsel mengusulkan kepada BPN RI agar izin HGU PTPN VII ditinjau kembali,” kata Kepala Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan BPN Sumatra Selatan,  Muhammad Syahrir, dalam surat pernyataannya pada Juni lalu. “Dan yang belum, agar tidak diterbitkan.”

Tetapi, perusahaan tak mau menyerahkan lahan begitu saja.

Sekretaris Perusahaan PTPN VII Sonny Soediastanto mengatakan lahan itu merupakan aset milik negara yang harus mereka jaga. PTPN, sambungnya, diberikan amanat untuk mengelola dan menjaganya. Kementerian Pertanian sebelumnya menyatakan lahan untuk perkebunan tebu secara nasional hingga 2011 mencapai 447.320 hektar dengan produksi sebesar 2,27 juta ton. Lembaga tersebut juga mengakui sejumlah masalah pada sektor tebu adalah sulitnya mendapatkan lahan baru dan mempertahankan lahan yang telah ada, guna menggenjot produksi.

“Untuk soal lahan sudah harga mati, tidak bisa diberikan kepada masyarakat,” kata Sonny dalam siaran pers di Jakarta, Juli lalu. “Langkah yang ditempuh PTPN VII sudah pada jalur yang benar.”

Dia mengatakan pihaknya sudah mengantongi Surat Keputusan Gubernur Sumatra Selatan No.379/Kpts/I/1981 tanggal 16 November 1981, Perihal Pencadangan Tanah Negara Seluas 20.000 Hektar untuk Proyek Pabrik Gula di Kecamatan Tanjung Raja, Muara Kuang, Indralaya, dan Tanjung Batu, Kabupaten Ogan Komering Ilir. Sedangkan HGU untuk lahan 6.512 hektar telah diterbitkan pada Agustus 1995.  Sonny memaparkan pihaknya tentu, tetap membuka dialog atas tuntutan warga dan selalu terbuka untuk bekerja sama.

Tetapi, pertemuan demi pertemuan tetap saja buntu. Dalam rapat-rapat sebelumnya, PTPN VII Cinta Manis—yang dihadiri oleh kuasa hukum direksi Bambang Heryanto—menyatakan persetujuannya dalam keputusan bersama pada awal Juni lalu. Salah satunya adalah pengembalian lahan yang belum bersertifikat HGU kepada masyarakat.

“Setelah melalui pembicaraan yang alot diambil keputusan bersama bahwa lahan yang belum ada HGU dimintakan secara prosedural kepada Kementerian BUMN untuk dikembalikan ke masyarakat,” kata Iklim Cahaya, Ketua DPRD Ogan Ilir, dalam risalah rapat. “Lahan yang sudah ada juga dapat dievaluasi kembali.”

“BPN RI akan menyurati Menteri BUMN dengan menyampaikan tuntutan, tanah yang belum bersertifikat telah digunakan PTPN VII tanpa hak selama 30 tahun,” kata Direktur Konflik Pertanahan BPN RI Ronsen Pasaribu dalam berita acara di Jakarta, Juli lalu. “BPN akan melakukan pengecekan ulang. Penelitian paling lambat dilakukan November 2012.”

PTPN VII mungkin tak akan berdiam diri. Apalagi, perusahaan perkebunan negara itu ingin tinggal landas menuju masa pertumbuhan pada 2014. Menurut Direktur Utama PTPN VII Boyke Budiono, keuangan perusahaan tersebut semakin stabil dalam 5 tahun terakhir. Laba setelah pajak pada tahun ini ditargetkan mencapai Rp304,17 miliar dari sebelumnya Rp153,41 miliar.  Selama 2007—2010, laba bersih perusahaan itu masing-masing berjumlah Rp252,59 miliar, Rp260,84 miliar, Rp150,35 miliar dan Rp253,24 miliar. Tak hanya itu, aset korporasi juga ditargetkan mencapai Rp6,70 triliun, meningkat dari medio lalu yaitu Rp6,03 triliun.

“Produktivitas tebu akan naik menjadi 69 ton pertahun dari tahun sebelumnya 62 ton dengan rendemen dari 6,78% menjadi 8,1%,” kata Boyke dalam situs Kementerian BUMN. “Dengan modal yang dimiliki, 5 tahun ke depan kami akan menjadi perusahaan tangguh dan berkarakter global.”

Tetapi,  perusahaan itu juga harus bersiap-siap. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada akhir tahun lalu telah menyatakan untuk mengaudit pajak BUMN di sektor perkebunan pada 2012. Seperti yang dikutip situs berita imq21.com, hal tersebut dilakukan untuk mengetahui performa perusahaan bidang komoditas itu dengan sesungguhnya. Jumlah korporasi negara di sektor perkebunan terdiri dari sedikitnya 15 perusahaan, yakni PTPN I—PTPN XIV ditambah dengan PT Rajawali Nusantara Indonesia (Persero).

“Selama ini, Kementerian BUMN terlalu menyimpan BUMN perkebunan sehingga kami tidak mengetahui performanya bagus atau tidak,” kata Ilya Avianti, Auditor Utama VII BPK yang kini menjadi anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan. “Pemeriksaan atas BUMN perkebunan ini termasuk dalam Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu prioritas.”

Di sisi lain, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pun menuntut hal yang hampir serupa.

Komisioner Komnas HAM Nur Kholis—yang memimpin tim penyelidikan kasus kekerasan—mengatakan rekomendasi untuk menginventarisasi BUMN yang berkonflik dengan warga, disampaikan guna menciptakan kemajuan perlindungan HAM di Ogan Ilir. Selain itu, peristiwa penembakan yang menimpa Angga Prima, bocah berusia 13 tahun itu, diharapkan tak terulang lagi. Menurutnya, pemerintah pusat perlu melakukan peninjauan dan audit terhadap izin perkebunan di daerah.

“Mendesak Menteri BUMN untuk segera melakukan inventarisasi terhadap seluruh BUMN yang bersengketa dengan warga,” kata Nur Kholis dalam resume laporan pemantauan. “Perusahaan perkebunan harus menerapkan kerangka kerja PBB tentang Guiding Principles for the Implementation of the Protect, Respect and Remedy Framework.”

Berdasarkan situs resmi PBB, kerangka kerja tersebut memuat tiga pilar utama. Pertama, negara yang harus melindungi individu dari pelanggaran HAM oleh pihak ketiga, termasuk pihak bisnis. Kedua, perusahaan yang bertanggung jawab untuk menghindari pelanggaran hak  serta mengatasi pengaruh buruk yang telah terjadi;  dan terakhir,  akses besar untuk pemulihan bagi korban, baik secara yudisial maupun tidak.

Terkait dengan dugaan pelanggaran HAM, Komnas HAM menyatakan sedikitnya lima pemangku jabatan turut bertanggung jawab. Mereka adalah Bupati Ogan Ilir, Kapolres Ogan Ilir, Wakapolres Ogan Ilir, para komandan yang tak melakukan pencegahan, serta Wakapolda Sumatra Selatan. Lembaga tersebut menemukan lima jenis pelanggaran atas hak, dalam tragedi di Ogan Ilir, yakni hak untuk hidup, hak untuk tidak mendapat perlakuan kejam, hak rasa aman, hak anak dan hak kesehatan.

“Dalam peristiwa kekerasan di Desa Limbang Jaya, terdapat bukti yang cukup ditemukannya penggunaan peluru tajam dalam penghalauan massa,” kata Nur Kholis. “Ada bukti permulaan yang cukup terjadinya dugaan pelanggaran HAM.”

Namun akhir Agustus lalu, Kapolres Ogan Ilir AKBP Deni Dharmala dianggap hanya melanggar disiplin kepolisian dalam melaksanakan tugas. Anwar Sadat mengatakan sanksi itu tak akan menimbulkan efek jera terhadap pihak kepolisian. Walhi Sumatra Selatan menilai aparat keamanan selama ini terus menjadi alat bagi perusahaan untuk melakukan tindakan semena-mena. Masalah akses lahan belum juga selesai, para aparat yang diduga melanggar HAM justru dihukum sangat ringan. Pada awal September, Tim Advokasi Hukum dan Pencari Fakta Cinta Manis akhirnya melaporkan kekerasan yang terjadi di Ogan Ilir kepada Polda Sumatra Selatan, sebagai dugaan pidana umum. Hingga kini, mereka menunggu hasil penyelidikan kepolisian.

“Selongsong peluru banyak ditemukan, bahkan peluru tajam di lokasi kejadian,” kata Mualimin Dahlan, Koordinator Tim Advokasi Hukum dan Pencari Fakta Cinta Manis. “Aparat yang melakukan penembakan ternyata juga mengumpulkan selongsong tersebut.”

“Kepolisian menakut-nakuti rakyat, dan dengan mudahnya meledakkan pelurunya ke masyarakat yang mempertahankan lahan,” kata Sadat. “Nyawa pun sangat murah, cukup dibayar dengan surat teguran tertulis.”

Brutalitas di Ogan Ilir telah menambah deretan jumlah kasus konflik tanah di Indonesia. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat sedikitnya terdapat 146 kasus persiteruan lahan dengan area seluas 809.046 hektar pada periode Januari—Agustus 2012. Perlawanan terbesar terjadi pada sektor perkebunan, pertambangan serta kehutanan. Hingga Agustus, konflik tersebut melibatkan sekitar 105.289 kepala keluarga.

Saya pun terkenang Yauna dan temannya, Cik Na, 58 tahun, ketika bersama-sama berada dalam bis mini yang disewa para petani Ogan Ilir usai mendemo Kementerian Keuangan di Jakarta. Para perempuan paruh baya itu mengatakan perusahaan perkebunan tersebut telah mencabut hak mereka selama puluhan tahun. Kini mereka tak punya lahan sama sekali. Juga anak-anak generasi penerus di Ogan Ilir. Ini pula yang dirasakan Abdul Muis. Ahmad Hasan, dan Man Diah.  Masalah ini pula yang menyatukan para petani dalam satu barisan. Saya merinding, melihat mereka berdoa dan menggemakan takbir di tengah teriknya matahari.  Dan seketika itu pula, teringat kata-kata Sadat, saat memimpin aksi demonstrasi tersebut.

“Kalau ada yang menculik sikok [satu], lawan. Ciduk sikok, lawan,” katanya dengan lantang dari atas bak mobil terbuka. “Hari ini, Allah ada dalam jiwa.”

Leave a comment

Filed under BUSINESS DISPUTE, CLIMATE CHANGE, CORRUPTION, HUMAN RIGHTS, POLITICS

Leave a comment