Belajar Bisnis dan HAM ala Ruggie

Oleh Anugerah Perkasa
1.085 words

SUHU UDARA di Ruang Safir pada siang itu cukup menusuk tulang. Ruangan yang terletak di hotel Crowne Plaza, Jakarta Selatan tersebut masih sepi. Dua pegawai hotel tengah menyiapkan meja dan kursi. Saya memang terlalu cepat datang pada hari itu. Kira-kira 30 menit lebih awal dari waktu seharusnya yakni 13.30.  Tapi, diskusi pada pertengahan bulan ini memang bikin antusias.

Saya diundang seorang kolega untuk mengikuti diskusi tentang bisnis dan hak asasi manusia (HAM), masalah yang saya pelajari dalam 3 tahun terakhir. Diskusi itu juga akan menjadi masukan untuk penerapan Prinsip-Prinsip Panduan PBB untuk Bisnis dan HAM. Fasilitator diskusi datang dari New York dan Jakarta. Mereka adalah Shift, organisasi non-profit yang mengampanyekan prinsip-prinsip tersebut kepada seluruh pemangku kepentingan. Dari entitas bisnis, pemerintah hingga masyarakat. Ada pula Human Rights Resource Centre (HRRC) yang berbasis di Universitas Indonesia.

Peserta mulai berdatangan hampir 1 jam kemudian.

Marzuki Darusman, Direktur HRRC, membuka acara. Marzuki dikenal sebagai mantan jaksa agung periode 1999-2001 dan menjadi Pelapor Khusus PBB untuk Korea Utara sejak 2010. Usianya kini 68 tahun dengan perut agak buncit. Pidatonya terpapar dalam dua lembar kertas yang dipegangnya. Saya terus menyeruput teh tawar hangat.

“Sejak dikenalkannya prinsip-prinsip ini, kami mulai melihat konvergensi yang belum pernah terjadi  sebelumnya dalam standar praktik bisnis yang bertanggung jawab,” kata Marzuki. “Kami mengerti secara khusus, tantangan spesifik yang dihadapi komunitas bisnis dalam memastikan penghormatan terhadap HAM.”

Pidato itu relatif singkat. Intinya, penghormatan terhadap HAM harus termasuk dalam budaya perusahaan. Marzuki kemudian mengambil tempat duduk tak jauh dari saya. Acara pun dimulai oleh Caroline Rees, Presiden Direktur Shift. Rees menjelaskan tema kali ini dengan bagan, yang berbentuk rumah, tentang Prinsip-Prinsip Panduan PBB untuk Bisnis dan HAM. Tiga pilar yang dibahas adalah bagaimana negara bertugas untuk melindungi HAM, tanggung jawab perusahaan untuk menghargai HAM hingga akses yang besar untuk pemulihan para pihak yang terpapar.

“Tiga pilar itu harus bekerja bersama-sama,” kata Rees.

Ress membiarkan rambut pirangnya tergerai. Dia memakai setelan blazer hitam pada sore itu. Saya kira Ress sangat familiar dengan masalah ini. Maklum saja, dia pernah bekerja selama 4 tahun  untuk mantan Perwakilan Khusus Sekretaris Jendral PBB untuk Bisnis dan HAM, John Ruggie.

John Ruggie adalah orang yang menciptakan Prinsip-Prinsip Panduan PBB untuk Bisnis dan HAM pada 2011 melalui 6 tahun proses yang ekstensif. Riset. Konsultasi. Berbicara dengan pelbagai komunitas.  Dia seorang profesor di bidang HAM dan hubungan internasional pada Kennedy School of Government, di Cambridge.

Dalam pidatonya pada Desember 2012, Ruggie menuturkan tak ada cara yang sederhana di level global untuk memastikan individu dan komunitas dapat dilindungi secara efektif dari pelanggaran korporasi. Penelitiannya menemukan negara pada umumnya tak disyaratkan dalam hukum HAM internasional untuk mengatur kegiatan ekstrateritorial usaha yang berkedudukan dalam area yurisdiksinya.

“Pengadilan nasional nampaknya tak memberikan pemahaman yang konsisten tentang penerapan perusahaan mengenai standar internasional yang melarang pelanggaran HAM berat, yang berpotensi sebesar kejahatan internasional,” kata Ruggie.

Pidato itu menyiratkan mengapa kerangka kerja untuk melindungi, menghormati dan pemulihan menjadi kian penting. Panduan PBB itu  menyebutkan tugas negara a.l melindungi HAM dalam teritori maupun yurisdiksinya karena penyalahgunaan yang dilakukan pihak ketiga, termasuk perusahaan. Upaya tersebut termasuk di dalamnya untuk mencegah, menginvestigasi dan menghukum melalui kebijakan yang efektif.

Tak hanya itu, panduan tersebut juga menyatakan negara harus mendukung bagaimana perusahaan menghormati HAM dalam area yang terpapar konflik. Salah satu cara, adalah terlibat ke dalam tahap paling awal untuk mengindentifikasi dan memitigasi risiko HAM dalam aktivitas bisnis.

Bagaimana dengan perusahaan?

Panduan Ruggie menyatakan penghormatan perusahaan terhadap HAM di antaranya adalah menggelar uji tuntas terhadap HAM. Caranya adalah menaksir pengaruh aktual maupun potensial atas pelanggaran HAM terkait dengan operasi bisnis. Perusahaan, demikian tuntunan tersebut, dapat menggunakan ahli independen di bidang HAM dan juga melakukan konsultasi yang bermakna dengan para kelompok terdampak investasi dan bisnis. Sedangkan tahap terakhir adalah pemulihan. Prinsip itu memaparkan negara harus memastikan para kelompok terpapar untuk mendapatkan akses pemulihan. Baik itu melalui mekanisme yudisial, administratif maupun legislatif.

Dalam hal ini, terdapat tiga mekanisme: mekanisme yudisial, mekanisme keluhan non-yudisial negara dan mekanisme keluhan non-negara.  Para kalangan industri, para pemangku kepentingan dan inisiatif gabungan pun harus memastikan bahwa mekanisme keluhan yang efektif tersebut, tersedia.

Diskusi pun dimulai. Sekitar 30 peserta dibagi dalam empat kelompok besar. Rees mengajukan pertanyaan: apa area HAM yang harus difokuskan serta dilaporkan oleh perusahaan?

“Isu tentang pencaplokan lahan,” kata Emanuel Bria, dari Revenue Watch.

“Apakah kerangka kerja itu juga berlaku surut. Bagaimana penghilangan orang-orang secara paksa karena operasi bisnis?” kata Andreas Harsono, dari Human Rights Watch.

“Bagaimana konsumen dapat melacak produk perusahaan. Ini bicara tekanan dari konsumen,” kata Maryati Abdullah, dari Publish What You Pay Indonesia.

“Apakah mungkin perusahaan di Indonesia berbisnis tanpa melanggar HAM?” kata saya.

Ruangan mulai ramai dengan pendapat peserta lainnya. Mereka bicara dari soal buruh hingga kelompok-kelompok rentan. Masalah yang mencuat lainnya adalah  apa yang membedakan kerangka kerja ini dengan inisiatif global lainnya di sektor bisnis. Ada pula soal penegakan hukum yang minim.

Prinsip-prinsip yang dipaparkan Rees, memang masih jauh dari kata selesai. Dia mengatakan butuh waktu sekitar 2 tahun—3 tahun lagi, bahkan bisa lebih, untuk mencapai produk final. Selama diskusi, kepala saya dipenuhi pelbagai kasus agraria yang terjadi dalam 3 tahun terakhir. Dari Sumatra hingga Papua.

Saya tak akan lupa Muhammad Ridwan, aktivis dari Pulau Padang, Riau, yang menjahit mulutnya karena melawan perusahaan raksasa kertas pada 2011. Edi Purwanto, petani muda yang dipopor kepalanya oleh preman perusahaan di Jambi awal tahun ini.  Saya juga ingat dengan Wensislaus Fatubun, yang mengadvokasi soal tergerusnya akar sosial suku Marind akibat proyek the Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE). Atau Widodo, petani semangka asal Kulonprogo, Jogjakarta yang menentang investasi milik keluarga Sultan Hamengkubowono X pada pertambangan bijih besi di pesisir pantai.

Saya kira Rees perlu tahu bagaimana Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memakai kata chief salesperson untuk Indonesia Incorporated. Rees, dan Shift yang dipimpinnya, juga perlu mengerti bagaimana pemerintah membagi Indonesia ke dalam enam koridor besar ekonomi dalam proyek ambisius Yudhoyono: Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia, sejak 2 tahun lalu.

Semuanya adalah soal bisnis dan investasi. Tanpa konsultasi. Minim transparansi.

Lintasan ingatan lainnya pun menerobos ke dalam pikiran. Ratusan petani Ogan Ilir, Sumatra Selatan, tengah berjalan kaki menuju Jakarta sejak pekan pertama November. Konflik agraria dengan perusahaan perkebunan tebu milik negara itu kian tak berujung dalam 3 tahun terakhir. Ada petani yang terpapar peluru hingga lengannya diamputasi. Ada bocah yang tewas tertembak namun minus hukuman setimpal untuk si pelaku.

Saya mulai memasukkan buku panduan milik Ruggie ke dalam ransel. Penjelasan Rees dan rentetan seteru tanah masih berseliweran di kepala. Menjelang senja, suhu Ruang Safir mungkin masih sama saat pertama kali saya memasukinya. Dingin. Tapi entah mengapa, kali ini lebih menusuk.

Leave a comment

Filed under BANKING, CLIMATE CHANGE, CORRUPTION, FINANCIAL SECTOR, HUMAN RIGHTS, LABOUR, LAW, POLITICS

Leave a comment