679 words
Jim yang baik,
Aku senang ketika kau bilang kabarmu baik-baik saja. Ini kau katakan sesaat sebelum mengikuti Pertemuan Musim Semi yang disiapkan Bank Dunia—agensi yang kau pimpin, bersama the International Monetary Fund, di Washington D.C. Kau juga antuasias menjawab pertanyaan tentang halaman baru Facebook milikmu, guna merespons rasa ingin tahu publik tentang Bank Dunia. Aku suka gaya bicaramu. Juga gurauanmu, setelah mencerap pertanyaan Pabsy Pabalan—seorang pegawai yang manis, yang bertugas mewawancaraimu hari itu.
“Ini penting sekali, karena banyak orang tak tahu soal Bank Dunia,” katamu dalam tayangan video tersebut. “Sejumlah orang bahkan bertanya kepadaku, apakah kalian memiliki ATM di jalanan sana?”
Aku kira kau tak sepenuhnya keliru. Mungkin banyak orang yang tak mengerti seutuhnya tentang bagaimana Bank Dunia, atau lembaga multilateral lainnya, bekerja. Tetapi, aku pun tak mengetahui benar apakah reformasi internal dalam lembaga yang kau pimpin itu berjalan dengan baik. Terutama soal penghormatan terhadap hak asasi manusia. Yang aku pahami, saat ini ratusan petani dan nelayan di Batang, Jawa Tengah, tengah dalam krisis sejak rencana proyek pembangunan pembangkit listrik berbasis batu bara diluncurkan pada 4 tahun silam.
Ada Carman, petani yang dipenjara karena melawan. Atau para perempuan nelayan yang akan kehilangan mata pencahariannya di pesisir Jawa. Mereka pun kini terbelah secara sosial. Dan Jim, ini adalah proyek hasil sokongan the International Finance Corporation, di bawah kendali Bank Dunia, lembaga yang kau pimpin saat ini.
Celakanya, penyelidikan terakhir oleh the International Consortium of Investigative Journalists (ICIJ) kian mengejutkan.
Selama 2003—2014, Bank Dunia membiayai sedikitnya 972 proyek bermasalah pada 124 negara dengan nilai komitmen mencapai US$455 miliar. Dana itu pula yang menyebabkan sedikitnya 3,4 juta orang di seluruh dunia kehilangan lahannya. Dari Asia hingga Afrika. Menurut ICIJ, lembaga multilateral itu gagal menegakkan aturannya sendiri untuk melindungi masyarakat dari pelbagai proyek yang didanai.
“Bank Dunia mendanai pemerintah dan perusahaan, yang dituduh melakukan pelanggaran hak asasi manusia,” demikian ICIJ. “Ini seperti pemerkosaan, pembunuhan dan penyiksaan.”
Aku juga menyaksikan tayangan bagaimana kau menutup pernyataan saat jumpa media Pertemuan Musim Semi itu, dengan target yang ambisius. Kau bilang negara-negara maju saat membangun infrastruktur—jalan raya, kereta api atau pelabuhan—adalah untuk kebaikan yang lebih besar: pekerjaan dan ekonomi. Negara-negara berkembang pun, akan melakukan hal serupa.
“Jika kita serius tentang tujuan kita—mengakhiri kemiskinan ekstrim dan meningkatkan kemakmuran bersama, kita perlu melakukan lebih untuk proyek infrastruktur di dunia berkembang,” katamu.
Aku menyaksikan pula bagaimana kau berpidato di lain waktu, agar petani memeroleh akses yang lebih baik. Dari benih, air, listrik hingga pasar. Ini untuk meningkatkan produksi dan mengakhiri kemiskinan. Tetapi, aku ingin tahu mana yang kau bela sebenarnya. Industri raksasa atau petani miskin?
Aku hanya ingat petani tua di Karawang, Jawa Barat. Dia tak pernah berani meminjam uang ke bank, karena yakin tak akan dikabulkan. Dia juga tak memeroleh pendapatan lebih karena harus membaginya untuk pestisida maupun pupuk, yang semakin lama semakin mahal. Dari pertemuan di Washington D. C. pula, aku membaca pernyataan ratusan organasisasi sipil yang mempertanyakan keberpihakan agensi yang kau pimpin. Mereka menuding Bank Dunia kian mengutamakan peranan korporasi multinasional. Di antaranya, untuk benih dengan hak paten dan pupuk sintetis.
“Daripada berbicara dan mendukung petani keluarga yang telah memproduksi 70% pangan global,” demikian Anuradha Mittal, dari Oakland Institute,”Bank Dunia tampaknya mengambil arah dari monopoli perusahaan super kaya.”
Dan, raksasa baru dari China pun muncul. The Asian Infrastructure Investment Bank. Aku memperkirakan akan ada miliaran dolar yang lebih besar lagi. Untuk pembangkit listrik, jalan raya, bendungan hingga pelabuhan. Bank Dunia pun, seperti yang kau sampaikan, sangat terbuka untuk bekerja sama. Namun yang aku tak pahami, mengapa pelbagai proyek mega—yang menyebabkan kekerasan di mana-mana, tak jua bisa dihentikan. Seperti yang terjadi di Indonesia. India. Peru hingga Ethopia. Dan Jim, aku pun turut mengkhawatirkan raksasa baru itu dengan sisi yang berbeda. Petani miskin semakin tersingkir.
Jim yang baik,
Perampasan lahan di benua Asia dan Afrika hingga detik ini, bukan tak mungkin akan terjadi kembali esok hari. Sokongan miliaran dolar Bank Dunia—yang berlipat ganda menuju triliunan kelak—dalam satu dekade terakhir, menjadi salah satu pemompanya. Sayangnya, sokongan uang itu pula yang melipatkgandakan keyakinanku tentang satu hal.
Di balik gelombang kapital raksasa, ada riak pelanggaran hak asasi manusia.